I
Sehabis mengikis emas senja
di ufuk mega magrib
setampar bulan menyala
bahkan sebelum kau utarakan
puji-pujian sorga pada langit
ii
lihat saja kegembiraan yang ada
butir-butir bintang bertebar di mata
bocahmu
menawan sebuah kasidah
“mumpung padang rembulane
mumpung jembar kalangane”
dan kasidah-kasidah malam pun
mengukir bibir isya dan bocahmu
yang kembang di selendang bulan
iii
Sebelum sungguh larut dalam bak
wudhu
sebuah upaya menenggelamkan diri dalam
rekaat-rekaat
dan ayat-ayat dari beberapa surat
atau ayat-ayat dari kali solat
kala kau benar-benar munajat,
sebagai tanda kalau rindu benar-benar
mendada
iv
Tiba-tiba terdengar kabar, lailatul
qadar.
Adakah yang tepat menerka atau
menyangka atau menanda
bahwa malam berbeda dan mereka merasa
harus berbeda
dalam menyulam tasbih di pelataran
musola.
Angin-angin berderap, deru di jendela
Debu-debu berterbangan di kolam.
Embun menyublim dari daun. Jarum-jarum
kecil hujan.
Layar mega putih, sungguh putih.
v
Dan bulan kian suluh
ketika katanya seorang hamba
yang tak pernah menaksir tentang
ayat-ayat bulan berhasil
mencuri Tuhan, Allah azza wa jalla
dalam gubuk reotnya.
Semarang, 2 Mei 2012
(dalam antologi,”Ayat-ayat
Ramadhan” dan dinobatkan sebagai puisi terbaik ketiga)