Saya suka dengan kata-kata Boedi Ismanto ”Saya menulis (puisi) bukan untuk menjadi penulis (penyair), tetapi untuk menjadi manusia." Di sisi lain, saya juga menyukai kata-kata Imam al-Ghazali,”Kalau engkau ingin dikenal, sedangkan engkau bukan anak seorang raja, atau ulama besar, maka jadilah seorang penulis.” Silakan menjadi saksi!

Selasa, 12 Mei 2015

Tidur dan Persoalan Waktu




TIDUR/ Wajahku diinjak-injak lalat – Mustofa Bisri
Pernah kita terlelap begitu lama, melebihi ideal jatah memejamkan mata. Seolah lelap tidur itu menjadi penghisap lelah yang kita butuhkan setiap hari.
Saya tertegun membaca puisi singkat Mustofa Bisri. Puisi sebaris di atas menyingkap makna yang luas. Namun, seluas apa pun penafsiran kita akan berhenti pada tamparan keras,”dasar pemalas!”
Tidur adalah simbol dari ketidakaktifan kesadaran kita, di mana organ dan jejaringannya sedang mengaso. Sedangkan kita terkurung dalam ruang bawah sadar. Kalau beruntung mendapatkan mimpi yang indah. Atau sebaliknya, mendapatkan mimpi yang membuat kita berujar na’uzubillah.
Namun tidur demikian tak bisa menjadi alibi bagi mereka yang sering memanjakan matanya. Tidur hanya sebatas mengistirahkan otak dan persendian. Me-refresh-nya. Hanya sebatas itu. Tak menjadikannya sekadar penghilang waktu. Atau bahkan menjadi watak dan kebiasaan yang mengakar. Dalam arti, telah dilebih-lebihkan. Maka, tidur yang saya persoalkan adalah persoalan merenggut waktu.
Tuhan telah menyediakan waktu dalam sehari sebanyak dua puluh empat jam. Tuhan atau siapa pun yang menjadi pembawa pesan-Nya tak penting menentukan berapa jam kita harus terpejam, meredamkan panas di kepala, merenggangkan otot persendian. Yan penting adalah isyarat istirahat secukupnya, meminimalisir. Kalau perlu, menjadwalkan diri agar waktu tidur itu benar sengaja kita atur sedemikian. Dan tidak menerapkan tidur di tempat yang membosankan untuk bangun.
Sebuah sindiran dari Nabi ,”Malam begitu panjang, jangan memangkasnya dengan tidur.” Pada intinya Nabi ingin mengatakan jangan terlalu banyak tidur, kurangi tidur, atau lakukan aktivitas lain selain tidur. Bahkan Nabi sendiri hanya tidur beberapa saat saja di waktu malam, jam istirahat kita. Jangan bilang,”tapi dia seorang nabi.” Saya teringat kelakar seorang da’i kocak, Anwar Zahid, perbedaan Nabi dengan kita hanya sedikit. Kalau Nabi tidur hanya sedikit, sedangkan kita sedikit-sedikit tidur, “Tidur kok sedikit.”
Tuhan juga telah berjanji dengan al-‘ashr, waktu. Modal manusia yang paling berharga adalah waktu. Kalau kita kehilangan uang hari ini maka kita bisa mendapatkan kembali uang di lain hari. Tetapi kalau kita kehilangan “sekarang”, tak akan bisa kembali, yang ada hanyalah waktu yang baru.
Bahkan ada suatu riwayat sebagaimana dinukil Quraisy Shihab: Setiap matahari terbit bersamaan dengan terbitnya, muncul suatu makhluk yang berkata,”Hai putra-putri Adam, aku makhluk baru. Sebentar lagi akan pergi dan tidak akan kembali menemuimu.” Demikian terjadi setiap hari. Saya tercenung, apakah saat makhluk baru yang datang telah menyaksikan saya sedang dalam perbuatan yang baik. Atau kalau dia telah pergi apakah ia senang dengan perjumpaan saya, lalu melaporkan kesaksian kepada Tuhan dengan bangga. Ah, saya merasa lemas.
Puisi Mustofa Bisri di atas menjadi tamparan keras. Waktu sedemikian berharga jangan sampai hilang oleh tidur yang sia-sia. Orang yang banyak tidur pasti akan sangat menyesal di kemudian hari, di masa atsar (sisa usia) hidupnya, sebab telah melalaikan ashr (waktu). Diinjak-injak lalat, yang berarti dipermalukan. Setidaknya saya telah merasakan ceker lalat itu di muka meski saya belum mencapai atsar.
Sedangkan waktu telah berlalu, tak dapat kembali, saya hanya bisa meniatkan diri berubah dari sekarang, demi kesuksesan mendatang. Mari! 
(Faizy Mahmoed Haly)