TIDUR/ Wajahku diinjak-injak lalat –
Mustofa Bisri
Pernah kita terlelap begitu lama, melebihi ideal jatah
memejamkan mata. Seolah lelap tidur itu menjadi penghisap lelah yang kita
butuhkan setiap hari.
Saya tertegun membaca puisi singkat Mustofa Bisri. Puisi
sebaris di atas menyingkap makna yang luas. Namun, seluas apa pun penafsiran
kita akan berhenti pada tamparan keras,”dasar pemalas!”
Tidur adalah simbol dari ketidakaktifan kesadaran kita, di
mana organ dan jejaringannya sedang mengaso. Sedangkan kita terkurung dalam
ruang bawah sadar. Kalau beruntung mendapatkan mimpi yang indah. Atau
sebaliknya, mendapatkan mimpi yang membuat kita berujar na’uzubillah.
Namun tidur demikian tak bisa menjadi alibi bagi mereka yang
sering memanjakan matanya. Tidur hanya sebatas mengistirahkan otak dan
persendian. Me-refresh-nya. Hanya sebatas itu. Tak menjadikannya sekadar
penghilang waktu. Atau bahkan menjadi watak dan kebiasaan yang mengakar. Dalam
arti, telah dilebih-lebihkan. Maka, tidur yang saya persoalkan adalah persoalan
merenggut waktu.
Tuhan telah menyediakan waktu dalam sehari sebanyak dua puluh
empat jam. Tuhan atau siapa pun yang menjadi pembawa pesan-Nya tak penting
menentukan berapa jam kita harus terpejam, meredamkan panas di kepala,
merenggangkan otot persendian. Yan penting adalah isyarat istirahat secukupnya,
meminimalisir. Kalau perlu, menjadwalkan diri agar waktu tidur itu benar
sengaja kita atur sedemikian. Dan tidak menerapkan tidur di tempat yang
membosankan untuk bangun.
Sebuah sindiran dari Nabi ,”Malam begitu panjang, jangan
memangkasnya dengan tidur.” Pada intinya Nabi ingin mengatakan jangan terlalu
banyak tidur, kurangi tidur, atau lakukan aktivitas lain selain tidur. Bahkan
Nabi sendiri hanya tidur beberapa saat saja di waktu malam, jam istirahat kita.
Jangan bilang,”tapi dia seorang nabi.” Saya teringat kelakar seorang da’i
kocak, Anwar Zahid, perbedaan Nabi dengan kita hanya sedikit. Kalau Nabi tidur
hanya sedikit, sedangkan kita sedikit-sedikit tidur, “Tidur kok sedikit.”
Tuhan juga telah berjanji dengan al-‘ashr, waktu.
Modal manusia yang paling berharga adalah waktu. Kalau kita kehilangan uang
hari ini maka kita bisa mendapatkan kembali uang di lain hari. Tetapi kalau
kita kehilangan “sekarang”, tak akan bisa kembali, yang ada hanyalah waktu yang
baru.
Bahkan ada suatu riwayat sebagaimana dinukil Quraisy Shihab: Setiap
matahari terbit bersamaan dengan terbitnya, muncul suatu makhluk yang
berkata,”Hai putra-putri Adam, aku makhluk baru. Sebentar lagi akan pergi dan
tidak akan kembali menemuimu.” Demikian terjadi setiap hari. Saya
tercenung, apakah saat makhluk baru yang datang telah menyaksikan saya sedang
dalam perbuatan yang baik. Atau kalau dia telah pergi apakah ia senang dengan
perjumpaan saya, lalu melaporkan kesaksian kepada Tuhan dengan bangga. Ah, saya
merasa lemas.
Puisi Mustofa Bisri di atas menjadi tamparan keras. Waktu
sedemikian berharga jangan sampai hilang oleh tidur yang sia-sia. Orang yang
banyak tidur pasti akan sangat menyesal di kemudian hari, di masa atsar (sisa
usia) hidupnya, sebab telah melalaikan ashr (waktu). Diinjak-injak
lalat, yang berarti dipermalukan. Setidaknya saya telah merasakan ceker lalat
itu di muka meski saya belum mencapai atsar.
Sedangkan waktu telah berlalu, tak dapat kembali, saya hanya
bisa meniatkan diri berubah dari sekarang, demi kesuksesan mendatang. Mari!
(Faizy Mahmoed Haly)
0 komentar:
Posting Komentar